Senin, 24 Februari 2014

Opini

Politik Kancil Pilek di Kerinci

Senin, 24 Februari 2014 | 00.21
Oleh: Nani Efendi


     Mantan Ketua MK Mahfud MD dalam salah satu opininya di media massa pernah menulis tentang istilah “kancil pilek”. Cerita itu sendiri, menurut keterangan Pak Mahfud dalam tulisannya, adalah berasal dari Profesor Amien Rais pada pertengahan 1980-an, ketika Mahfud MD masih menjadi mahasiswanya di Pascasarjana UGM. Ketika itu Mahfud mengambil mata kuliah Politik Timur Tengah yang diampu Amien Rais. Mungkin banyak yang penasaran dengan cerita kancil pilek. Apa gerangan yang terjadi dengan kancil pilek? Berikut cerita dari mantan Hakim Konstitusi Profesor Mahfud MD yang ia dengar dari Profesor Amien Rais Guru Besar Politik di Universitas Gajah Mada.
     Di sebuah hutan rimba, hiduplah harimau si raja rimba yang memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari, sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risi dengan desas-desus itu, si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk mendapat kepastian. Mula-mula, dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang besar. Menurutmu, benarkah badan saya ini bau? tanya harimau sambil menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. Ampun Tuan Raja yang Mulia, memang benar, badan Tuan bau dan memualkan, jawab herder tersebut dengan jujur. Mendengar itu, sang harimau jadi marah. Kurang ajar, berani benar kamu menghina raja di rimba ini, kata sang harimau sambil menerkam dan merobek-robek si herder sampai lumat.
      Kemudian, dipanggillah pimpinan rakyat kijang. Apakah menurutmu badanku ini bau? tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut dirobek-robek seperti herder, maka setelah membau badan harimau, pimpinan kijang itu berkata. Ampun Yang Mulia, ternyata badan yang mulia harum menyegarkan, katanya. Tapi, tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang sambil mengaum keras. Kurang ajar, munafik, berani benar kamu membohongi raja, teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.
      Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder, bisa dirobek-robek karena dianggap berani kurang ajar. Kalau berbohong agar raja senang, bisa dicabik-cabik seperti kijang. Ketika membau tubuh harimau, si kancil bersin (wahing) karena tubuh raja rimba itu baunya memang menyengat. Bagaimana menurutmu, kancil? Apa badan saya memang bau? tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar, kancil itu menjawab. Maaf Raja Rimba yang Mulia, saya sedang pilek, hidung lagi mampet, jadi tak tahu apakah badan Tuan bau atau tidak, jawab sang kancil. Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau? kejar sang harimau. “Ya, saya bersin justru karena pilek itu,” jawab kancil lebih berani. Sang harimau akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.
     Dari cerita itulah, dalam dunia politik muncul istilah “politik kancil pilek”. Politik kancil pilek dapat diartikan sebagai “politik diam” meski melihat kemungkaran. Alasannya, karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Di Kerinci saat ini banyak sekali “politisi kancil pilek”. Mereka, demi kepentingan pribadi, sanggup menjadi politisi kancil pilek. Yang pada dasarnya mereka takut berbicara yang benar. Mereka menutup mata pada kemungkaran. Mengapa? Jawabannya, “Karena masih memikirkan periuk beras sendiri.” Demi kepentingan perut sendiri, kepentingan rakyat yang lebih besar rela mereka korbankan. Mereka memperkosa idealisme dan nurani mereka sendiri untuk berbicara secara hanif dan benar. Mereka adalah politisi tanpa idealisme. Mereka takut pada kekuasaan dan lupa bahwa kekuasaan Tuhan masih ada. Mereka ini, meminjam istilah Pak Mahfud MD, berbicara secara sangat normatif, tapi palsu.

Nani Efendi
Pemerhati Sosial Politik
Komentar
 

Category 2

.