Minggu, 09 Februari 2014

Editorial

Membatalkan Hasil Pemilukada Kerinci, Mungkinkah?

Minggu, 09 Februari 2014 | 20.52
Pemilukada Kerinci yang digelar 8 September 2013 lalu, yang perselisihannya telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata belum sepenuhnya diterima oleh pihak yang kalah sebagai suatu fakta politik dan fakta hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi masih saja tetap diprotes dan diteriaki. Belum nampak jiwa besar dari pihak yang kalah untuk menerima secara legowo hasil putusan MK itu. Pada Senin, 3 Februari 2014, ratusan pendukung Haji Murasman turun ke jalan melakukan demonstrasi ke Gedung DPRD Kerinci. Mereka meminta DPRD untuk memohon kepada MK agar membatalkan putusan yang memenangkan Adirozal-Zainal Abidin (ADZAN) sebagai Bupati Kerinci. Segelintir anggota DPRD Kerinci pun mengabulkan permintaan itu. Sungguh suatu sikap politik yang terkesan “lucu”.

Dalam kaitan ini, sikap kenegarawanan (statesmanship) yang ditunjukkan oleh John McCain—kandidat presiden dari Partai Republik AS—ketika ia kalah dari Barack Obama dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat pada tahun 2008, seharusnya dapat menjadi pelajaran politik yang berharga bagi tokoh besar selevel bupati dan orang-orang yang mencintai kehidupan demokrasi yang sehat. Demi kepentingan Amerika Serikat yang lebih besar, McCain mengucapkan selamat kepada Obama atas kemenangannya, dan ia bersedia bekerjasama untuk membangun bangsa mereka yang saat itu tengah berada di tepi jurang krisis ekonomi. Suatu sikap ksatria dari seorang pemimpin yang patut diteladani. 

Dalam Pemilukada Kerinci 2008 silam, juga terlihat contoh yang baik dari tokoh-tokoh Kerinci. Pihak-pihak yang kalah—Ami Taher, Hasani Hamid, Nuzran Joher, Herman Muchtar, dan Zubir Muchtar—juga telah menunjukkan sikap jiwa besar dan kedewasaan dalam berpolitik. Mereka menerima kekalahan secara legowo. Bahkan, Ami Taher yang ketika itu juga menggugat kemenangan Murasman ke MK—namun akhirnya kalah—juga bisa menerima putusan itu dengan bijak. Karena, ia menganggap putusan MK tidak mungkin lagi untuk digugat. Akan tetapi, dalam sengketa hasil Pemilukada Kerinci kali ini, sikap seperti itu tidak terlihat sama sekali.

Yang kentara hanyalah egoisme politik untuk memuaskan syahwat kekuasaan yang belum terlampiaskan—dan mungkin tidak akan pernah bisa terpuaskan. Padahal, kata Lyndon B. Johnson, Presiden AS ke-36, “Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan sungguh perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Semestinya, demi kepentingan rakyat Kerinci yang lebih besar, pihak yang kalah bisa menerima hasil Pemilukada itu dengan legowo tanpa menimbulkan gejolak sosial maupun politik.

Sebuah pepatah Melayu kuno mengkiaskan, bahwa meminta sesuatu kepada seseorang yang tidak mampu ia penuhi, sama dengan meminta tanduk pada kuda. Meminta DPRD Kerinci mendesak MK untuk membatalkan putusannya, sama saja dengan “meminta tanduk pada kuda”. Dalam peribahasa Kerinci sendiri, hal itu disebut, “Mengadu kerak dengan air”. Artinya, suatu hal yang konyol, sia-sia, dan mubazir. Semestinya, mereka bisa berpikir jernih dan membuka mata: apalah daya dan wewenang DPRD untuk mendesak MK membatalkan putusannya yang bersifat final? Sungguh, suatu dagelan politik yang terkesan memperkosa akal sehat publik. 

Dalam UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) hasil amandemen (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, dijelaskan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 

Merujuk pada ketentuan Konstitusi (UUD 1945) di atas, jelas sekali bahwa putusan Mahkamah Konstitusi—sebagai the guardian and the final interpreter of the constitution (pengawal sekaligus penafsir tertinggi dan terakhir terhadap konstitusi)—itu bersifat final dan mengikat. Termasuk juga dalam hal memutus perselisihan hasil pemilukada, karena pemilukada dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum. “Final” artinya tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Dengan kata lain, putusan MK tidak dapat lagi untuk diganggu-gugat—walaupun, karena putusannya itu, banyak pihak yang merasa tidak puas dan merasa tidak mendapatkan keadilan. Namun, itulah fakta hukum yang sedang berlaku di Indonesia saat ini.

Namun anehnya, dalam sengketa hasil Pemilukada Kerinci, pihak yang dinyatakan kalah dalam sengketa, tetap ngotot untuk mempersoalkan dan meminta putusan MK dibatalkan. Bahkan, diberitakan di media massa Kerincitime.co.id, salah seorang tim sukses dari Murasman mengeluarkan statement akan ada pertumpahan darah jika Adzan tetap dilantik. Mereka menilai, Haji Murasman adalah bupati pilihan rakyat yang sah, sedangkan Adzan adalah bupati pilihan hakim MK. Sebenarnya, kedua-duanya—Murasman dan Adzan sama-sama dipilih oleh rakyat Kerinci secara langsung, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. 

Dalam hal ini, tidak ada “bupati pilihan hakim”. Hakim Konstitusi hanyalah sebatas menyelesaikan sengketa hasil, bukan memilih bupati. Ini harus benar-benar dipahami dengan baik. Karena hasil pemilihan di dua kecamatan—Siulak Mukai dan Sitinjau Laut—dianggap bermasalah dan tidak sah berdasarkan fakta-fakta hukum, maka oleh MK diputuskan untuk dilakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang). Total perolehan suara dari enam kandidat itu ternyata Adzan lebih unggul. Maka, Adzan-lah yang ditetapkan sebagai pemenang. Itu duduk persoalannya. Simpel. Jadi, tidak ada istilah “bupati pilihan MK”. Yang ada hanyalah “bupati pilihan rakyat Kerinci”. Mahkamah Konstitusi hanyalah sebatas memutus perkara perselisihan hasil. Oleh karena itu, semua pihak semestinya bisa menerima dan menghormati putusan itu—sebagai suatu fakta dalam kehidupan berdemokrasi. (NE/NOHA)
Komentar
 

Category 2

.