Sabtu, 11 Januari 2014

Opini

Kebijakan Mutasi yang Meresahkan PNS

Sabtu, 11 Januari 2014 | 23.14

Oleh: NANI EFENDI


     Salah satu momok yang menakutkan dan meresahkan bagi para abdi negara (PNS) di banyak daerah di Indonesia menjelang dan pasca Pemilukada adalah mutasi tanpa kejelasan. Dalam praktek otonomi daerah (regional autonomy), kepala daerah punya kewenangan yang besar dalam mengendalikan pemerintahan, termasuk kewenangan mengangkat, memutasikan, bahkan memberhentikan PNS di lingkungan pemerintahan yang ia pimpin. Sebenarnya, kewenangan yang besar itu mempunyai dampak yang positif bagi kemajuan suatu daerah. Namun, di sisi lain juga memiliki dampak mudarat. Salah satu bentuk sisi mudaratnya adalah pemutasian PNS secara kebablasan dan sewenang-wenang.
   Artinya, selama ini, dalam hal kebijakan mutasi PNS di lingkungan pemerintah daerah, yang kental itu nuansa politisnya—bukan pertimbangan profesionalitas berdasarkan prinsip the right man on the right job (orang yang tepat pada jabatan yang tepat). Kepala daerah yang sedang menjabat dan merasa punya otoritas sering melakukan kebijakan mutasi PNS untuk menunjukkan “taring” sebagai penguasa dan sebagai bentuk tindakan balas dendam terhadap pegawai-pegawai yang dianggap sebagai pembangkang. Sebenarnya, kebijakan mutasi yang kebablasan itu tidak saja terjadi dalam hubungannya dengan Pemilukada, tetapi juga merupakan impact (dampak) dari kebijakan otonomi daerah yang salah kaprah.
   Dengan adanya otonomi yang luas, pemerintah daerah merasa punya wewenang (authority) yang besar untuk mengangkat, memutasikan (memindahkan atau menon-job-kan), memberikan sanksi administratif, bahkan memecat PNS sekalipun. Dalam menjawab keluhan dan kritikan dari publik, pemerintah daerah berdalih dan mempunyai alasan “demi penyegaran dan efektifitas kinerja PNS di lingkungan pemerintah daerah”. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama praktek otonomi daerah dan juga dalam konteks pemilukada di banyak daerah di Indonesia, mutasi PNS secara sepihak sarat dengan kepentingan politik (political interests). Hal tersebut bisa merupakan salah satu bentuk aksi “balas jasa” dan juga “balas dendam” dari kepala daerah yang berkuasa terhadap kawan dan lawan politiknya.

 Upaya gugatan

   Dalam menyikapi kebijakan mutasi yang sewenang-wenang, bagaimana seharusnya para PNS bersikap? Selama ini, sikap para PNS dalam menyikapi kebijakan mutasi berbagai macam. Ada yang nrimo (menerima dengan pasrah), sebagian ada yang menggerutu tanpa tahu apa yang harus dilakukan, dan sebagian ada yang tidak puas dan men-challenge-nya (menggugat) ke PTUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, tidak banyak PNS yang tahu dan mengerti hukum. Di antara PNS, tidak banyak yang memahami bagaimana cara mengajukan gugatan secara hukum terhadap kebijakan mutasi sepihak yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh atasan mereka.
  Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (1) dijelaskan, “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
   Kemudian, dalam Pasal 53 ayat (2) dijelaskan lagi, “Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.” Nah, mutasi PNS dilakukan dengan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, jika PNS merasa terzalimi dengan pemutasian yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan pula dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), maka PNS dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak sah.
   Kemana jalur gugatannya? PNS bisa menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang saya paparkan di atas. Pengadilan Tata Usaha Negara disebut juga Pengadilan Administrasi Negara (administrative court). Di PTUN, akan dikaji apakah kebijakan pemutasian itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Yang jelas, kepala daerah (bupati, walikota, dan gubernur) bukanlah raja yang bisa berbuat semaunya. Ini harus dipahami dengan baik oleh PNS. Mengapa? Karena, Negara kita adalah Negara hukum. Yang disebut Negara hukum ialah tidak ada satu pun kebijakan pemerintah dan alat-alat kelengkapan negara yang dijalankan tanpa dilandaskan atas hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, dalam Negara hukum, setiap kebijakan pemerintah tidak bisa berlandaskan atas kekuasaan atau power belaka.

Hilangkan politik balas dendam!

  Sebenarnya, gugat-menggugat ke pengadilan bukanlah sesuatu yang baik untuk dibudayakan. Yang sebaiknya dilakukan itu ialah menghilangkan budaya politik balas dendam terhadap lawan politik. Berbeda pandangan dan pemikiran adalah hal yang lumrah dan biasa dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, harus ada kesadaran dari mereka yang diberikan amanah sebagai pemimpin di daerah untuk menghilangkan budaya balas dendam yang dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk kebijakan memutasikan PNS secara sewenang-wenang. Jika hal itu tidak dihilangkan, maka akan memberikan dampak yang buruk dalam kontinuitas penerapan dan pengelolaan otonomi di daerah-daerah.
   Semestinya, otonomi daerah dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, favorable, efektif, dan efisien bagi para PNS dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas. Jika para PNS “dibuang” (baca: mutasi atau dinon-job-kan) ketempat yang “tidak pas”, maka mereka akan merasa tidak nyaman dalam bekerja. Kalau PNS sudah merasa tidak nyaman bekerja dilingkungan kerjanya, maka hasil kinerjanya pun akan menjadi tidak optimal. Hal ini tentu sangat kontraproduktif atau bertentangan dengan cita-cita otonomi daerah itu sendiri. Akibatnya, masyarakat luas juga yang akan menanggung kerugian karena tidak mendapatkan pelayanan publik secara optimal.
NANI EFENDI
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi
Komentar
 

Category 2

.