Rabu, 27 Februari 2013

Opini

Dilema Tenaga Honorer Kota Sungai Penuh

Rabu, 27 Februari 2013 | 16.02
            Sebelum libur semester ganjil ini, setiap kali selesai memberi kuliah, saya sering diajak bincang-bincang dan diskusi oleh para mahasiswa terutama mereka yang bekerja sebagai tenaga honorer di Kota Sungai Penuh. Mereka mengeluhkan tentang rencana Pemkot Sungai Penuh untuk memberhentikan tenaga honorer, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekda Kota beberapa hari yang lalu. “Kami inikan tenaga honorer pak. Bagaimana pemerintahlah. Kami ngikut saja.” Kalimat ini selalu muncul setiap kali diskusi mengarah pada keinginan Pemerintah Kota Sungai Penuh yang akan mengurangi jumlah tenaga honorer yang ada saat ini. Dan hal inilah sebenarnya yang mendorong saya untuk membuat tulisan ini. Saya berharap, tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan referensi bagi Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk meninjau kembali (review) kebijakan tersebut.
Persoalan ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang tidak pernah habis di setiap Negara manapun. Dan menjadi hal yang mendasar bagi Negara-negara berkembang (depelovi countries) seperti Indonesia, yang sekaligus merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang cukup padat. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja (pengangguran terbuka) yang ada dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Di samping itu, di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, diiringi dengan  tuntutan akan kebutuhan dan masa depan yang bisa memberi jaminan hari tua, menyebabkan keinginan untuk menjadi tenaga honorer dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai salah satu alternatif yang tepat dengan harapan suatu saat bisa dingkat sebagai pegawai tetap (PNS).
             Namun, pada dasarnya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa rencana pemberhentian sebagian tenaga honorer oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh merupakan suatu kebijakan yang harus dipertimbangkan dan ditinjau kembali. Bagi sebagian kalangan, kebijakan tersebut tidak populis. Satu sisi mungkin kita bisa memahami, bahwa Pemerintah Kota Sungai Penuh  ingin membangun suatu keseimbangan birokrasi dalam organisasi, di mana jumlah pegawai harus sesuai kebutuhan dan kemampuan (the right man on the right place), atau mungkin Pemerintah Kota ingin membenahi birokrasi dari para pegawai yang dinggap tidak memiliki potensi dan keahlian yang dibutuhkan oleh pemerintah kota dalam usaha menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien. Tapi di sisi lain Pemerintah Kota juga harus memahami bahwa tanpa diberhentikan pun mereka tetap dikategorikan sebagai pengangguran  terselubung. Nah,  bagaimana sekarang kalau mereka diberhentikan tentu akan menimbulkan masalah baru bagi Pemerintah Kota, dimana jumlah angka pengangguran terbuka di Kota Sungai Penuh akan semakin meningkat.  Inilah yang saya maksud sebagai suatu dilema yang harus disikapi oleh Pemerintah Kota secara bijak.
Seandainya pemberhentian ini tetap dilakukan oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh, tentu ini akan menjadi masalah sosial yang juga harus diselesaikan oleh pemerintah kota itu sendiri. Pemerintah kota memiliki tanggungjawab (public responsbility) terhadap persoalan baru yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah Kota harus mampu mencari solusi yang terbaik bagi tenaga honorer yang akan diberhentikan. Apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana status mereka setelah diberhentikan? Hal ini harus bisa ditanggapi dengan baik oleh Pemkot Sungai Penuh. Bagaimanapun, mereka adalah warga negara yang punya hak yang sama dan telah mengabdi di lingkungan Pemkot Sungai penuh. Jadi, menurut saya, pemberhentian sebagian tenaga honorer ini bukanlah masalah yang sederhana. Karena, bisa menimbulkan dampak sosial (social problem) di tengah masyarakat. Jangan sampai Pemerintah Kota yang diharapkan mampu menyelesaikan banyak persoalan pembangunan, justru menambah persoalan dengan bertambahnya angka pengangguran. Dan dapat menghilangkan harapan mereka untuk dapat hidup layak.
Dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci selalu mengalami peningkatan, apalagi seperti kita ketahui bahwa di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci memiliki kurang lebih tujuh Perguruan Tinggi negeri dan swasta. Setiap tahun, masing-masing perguruan tinggi tersebut melahirkan puluhan bahkan ratusan sarjana. Ini belum ditambah dengan penduduk kota Sungai Penuh dan Kabuten Kerinci yang kuliah di luar daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, seandainya pemerintah kota tidak memberhentikan sebagian tenaga honorer tersebut jumlah angka pengguran di kota Sungai Penuh tetap akan bertambah. Dan tentunya, angka tersebut akan semakin memprihatinkan kalau seribuan tenaga honorer kota yang ada yang ada sekarang ikut memperpanjang jumlah deretan angka pengangguran di kota Sungai Penuh. 
Sebagai penutup, solusinya menurut saya, pemerintah kota Sungai Penuh tidak harus memberhentikan sebagian tenaga honorer yang ada. Yang harus dilakukan pemerintah kota Sungai Penuh tidak lagi menerima tenaga honorer dimasa-masa yang akan datang tanpa tebang pilih siapapun  mereka, tentu dengan memperhatikan perkembangan keadaan dimasa yang akan datang. Tenaga honorer yang ada sekarang, menurut saya, merupakan aset yang tak ternilai. Hari ini, mereka tidak bisa menjadi PNS bukan kerana tidak punya skill dan kemampuan, tetapi disebabkan kesempatan dan peluang karena mereka dilahirkan dalam era-era sulit. Oleh karena itu Pemkot Sungai Penuh sekarang ini di bawah kepemimpinan Bapak AJB dapat mempertimbangkan kembali keinginan tersebut.

Bukhari Muallim, M.Si
Dosen STIA-NUSA Sungai Penuh
Komentar
 

Category 2

.