Sebelum libur semester ganjil ini,
setiap kali selesai memberi kuliah, saya sering diajak bincang-bincang dan
diskusi oleh para mahasiswa terutama mereka yang bekerja sebagai tenaga honorer
di Kota Sungai Penuh. Mereka mengeluhkan tentang rencana Pemkot Sungai Penuh untuk
memberhentikan tenaga honorer, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekda Kota
beberapa hari yang lalu. “Kami inikan tenaga
honorer pak. Bagaimana pemerintahlah. Kami
ngikut saja.”
Kalimat ini selalu muncul setiap kali diskusi mengarah pada keinginan
Pemerintah Kota Sungai Penuh yang akan mengurangi jumlah tenaga honorer yang ada
saat ini. Dan hal inilah sebenarnya yang mendorong saya untuk membuat tulisan
ini. Saya berharap, tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan
dan referensi bagi Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk meninjau
kembali (review) kebijakan tersebut.
Persoalan ketenagakerjaan
merupakan permasalahan yang tidak pernah habis di setiap Negara manapun. Dan
menjadi hal yang mendasar bagi Negara-negara berkembang (depelovi countries) seperti Indonesia, yang sekaligus
merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang cukup padat. Hal ini pula yang
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja (pengangguran
terbuka) yang ada dengan jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia. Di samping
itu, di tengah sulitnya
mendapatkan pekerjaan yang layak, diiringi dengan tuntutan akan kebutuhan dan masa depan yang
bisa memberi jaminan hari tua, menyebabkan keinginan untuk menjadi tenaga
honorer dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai salah satu alternatif yang
tepat dengan harapan suatu saat bisa dingkat sebagai pegawai tetap (PNS).
Namun,
pada dasarnya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa rencana pemberhentian sebagian
tenaga honorer oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh merupakan suatu kebijakan yang harus
dipertimbangkan dan ditinjau kembali. Bagi sebagian kalangan, kebijakan tersebut tidak populis. Satu sisi mungkin
kita bisa memahami, bahwa Pemerintah Kota Sungai Penuh ingin membangun suatu keseimbangan birokrasi dalam
organisasi, di mana jumlah pegawai harus sesuai kebutuhan dan kemampuan (the
right man on the right place), atau mungkin Pemerintah Kota ingin membenahi
birokrasi dari para pegawai yang dinggap tidak memiliki potensi dan keahlian
yang dibutuhkan oleh pemerintah kota dalam usaha menciptakan birokrasi yang
efektif dan efisien. Tapi di sisi lain Pemerintah
Kota juga harus memahami bahwa tanpa diberhentikan pun mereka tetap
dikategorikan sebagai pengangguran terselubung.
Nah, bagaimana sekarang kalau mereka diberhentikan
tentu akan menimbulkan masalah baru bagi Pemerintah Kota, dimana jumlah angka
pengangguran terbuka di Kota Sungai Penuh akan semakin meningkat. Inilah yang saya maksud sebagai suatu dilema yang harus
disikapi oleh Pemerintah Kota secara bijak.
Seandainya
pemberhentian ini tetap dilakukan oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh, tentu ini
akan menjadi masalah sosial yang juga harus diselesaikan oleh pemerintah kota
itu sendiri. Pemerintah kota memiliki tanggungjawab (public responsbility) terhadap persoalan baru yang ditimbulkan
oleh suatu kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota harus mampu mencari solusi yang terbaik bagi tenaga
honorer yang akan diberhentikan.
Apa yang harus mereka lakukan dan
bagaimana status mereka setelah diberhentikan?
Hal ini harus bisa ditanggapi dengan baik oleh
Pemkot Sungai Penuh. Bagaimanapun, mereka adalah warga negara yang punya hak yang sama dan telah mengabdi di lingkungan
Pemkot Sungai penuh. Jadi,
menurut saya, pemberhentian sebagian
tenaga honorer ini bukanlah masalah yang sederhana. Karena, bisa
menimbulkan dampak sosial (social problem) di tengah masyarakat. Jangan
sampai Pemerintah Kota yang diharapkan mampu menyelesaikan banyak persoalan
pembangunan, justru menambah persoalan
dengan bertambahnya angka pengangguran. Dan dapat menghilangkan harapan mereka
untuk dapat hidup layak.
Dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja di Kota Sungai
Penuh dan Kabupaten Kerinci selalu mengalami peningkatan, apalagi seperti kita ketahui
bahwa di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci memiliki kurang lebih tujuh
Perguruan Tinggi negeri dan swasta. Setiap tahun, masing-masing perguruan
tinggi tersebut melahirkan puluhan bahkan ratusan sarjana. Ini belum ditambah
dengan penduduk kota Sungai Penuh dan Kabuten Kerinci yang kuliah di luar
daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, seandainya pemerintah kota
tidak memberhentikan sebagian tenaga honorer tersebut jumlah angka pengguran di
kota Sungai Penuh tetap akan bertambah. Dan tentunya, angka tersebut akan
semakin memprihatinkan
kalau seribuan tenaga honorer kota yang ada
yang ada sekarang ikut memperpanjang
jumlah deretan angka pengangguran di kota Sungai Penuh.
Sebagai penutup, solusinya menurut saya, pemerintah
kota Sungai Penuh tidak harus memberhentikan sebagian tenaga honorer yang ada. Yang harus dilakukan pemerintah
kota Sungai Penuh tidak lagi menerima tenaga honorer dimasa-masa yang akan
datang tanpa tebang pilih siapapun
mereka, tentu dengan memperhatikan
perkembangan keadaan dimasa yang akan datang. Tenaga honorer yang
ada sekarang, menurut saya, merupakan aset yang tak ternilai. Hari ini, mereka
tidak bisa menjadi PNS bukan kerana tidak punya skill dan kemampuan, tetapi disebabkan
kesempatan dan peluang karena mereka dilahirkan dalam era-era sulit. Oleh karena
itu Pemkot Sungai Penuh sekarang ini di bawah kepemimpinan Bapak AJB dapat mempertimbangkan
kembali keinginan tersebut.
Bukhari
Muallim, M.Si
Dosen STIA-NUSA Sungai Penuh