Sabtu, 16 Februari 2013

Opini

KETIKA GERAKAN MAHASISWA DI PASUNG

Sabtu, 16 Februari 2013 | 16.01
OLEH : FESDIAMON

                Diskursus tentang peran mahsiswa dalam konstelasi politik nasional memang tidak pernah usang. Diskursus itu bukan semata-mata karena peranan mahasiswa selalu diingkupi dan dipengaruhi oleh sistem yang berlaku dan berjalan saat itu. Namun yang lebih krusial lagi adalah karena peran itu dimainkan dalam kondisi steril dari kepentingan dan memiliki bobot presure yang besar ketimbang gerakan-gearakan lainnya.

                Asusmsi ini bisa kita lihat dari pengalaman gerakan mahasiswa, yang mampu menumbangkan rezim otoriter. Sebut saja gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berhasil meruntuhkan demokrasi terpimpin yang diterapkan Presiden Soekarno, kemudian gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang berhasil menumbangkan orde baru yang selama tiga dasawarsa menggurita dalam kehidupan politik di masyarakat.

                Gerakan itu tidak terlepas dari kondisi politik ekonomi yang terjadi dan pergeseran kekuatan politik pada waktu itu. Runtuhnya rezim Soekarno disebabkan oleh kondisi ekonomi yang sangat buruk dan kondisi perpecahan kekuasaan politik terutama kepada militer. Begitu juga keruntuhan orde baru tidak terlepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan dan kemudian merembet pada persoalan ketidak kepercayaan rakyat terhadap bangunan sistem negara secara umum. Namun hal itu tidak berarti mengurangi signifikan gerakan kemahasiswaan. Tanpa ada perlawanan dari gerakan ini, belum tentu sebuah rezim dapat diruntuhkan. Selain gerakan ini, hampir tidak ada gerakan lain baik dari LSM, tokoh masyarakat atau kekuatan politik lain yang mampu secara sinergis dan lantang serta berani melakukan perlawanan terhadap rezim. Singkatnya, gerakan kemahasiswaan menjadi pioner dan penentu perubahan pemerintah.

                Sekedar kilas balik, sistem politik represif dan korporatis, yang digunakan untuk melanggengkan konstruk pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan (developmentalisme) banyak mempengaruhi perilaku politik mahasiswa. Ini terjadi pada akhir tahun 1960-an sampai pertengan 1980-an dan tahun 1980-an keatas, dimana peran mahsiswa sangat dibatasi. Gerakan mahsiswa dikapling hanya dalam ruang lingkup kampus saja. Jawaban-jawaban politik kritis yang dipresentasikan oleh kelompok ini dihadapkan pada  tembok otoritarianisme.

                Pada tahun-tahun tersebut gerakan politik moral yang selalu didengunkan, direspon dengan tindakan sewenang-wenang dengan menjebloskan aktivis mahasiswa ke penjara tanpa melalui proses hukum. Puncaknya pada tahun 1978 ; melalui SK Pangkopkamtib, nomor : SKEP-02/KOKAM/I/1978. Pemerintah melakukan pembekuan kegiatan dewan-dewan mahasiswa dihampir disemua kampus diseluruh Indonesia. Regimentasi itu diperkuat SK Mendikbud No.0156f U/1978 Tentang Normalsasi Kegiatan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang berfungsi sebagai upaya mengkandangkan gerakan politik mahasiswa kedalam kampus dengan instrumen pimpinan kampus (Rektor). Keputusan ini berusaha menjinakkan mahasiswa dan menyingkirkan mahasiswa dari kehidupan politik dengan cara mengebiri sistem perguruan tinggi dan aktivitas kemahasiswaan.

                Munculnya peraturan ini melemahkan perlawanan gerakan kemahasiswaan. Periode ini menunjukan gerakan mahasiswa bersifat sporadis dan ditekan oleh kekuatan milter. Kebijakan ini tidak hanya melanda gerakan intra kampus, tetapi juga melanda gerakan mahasiswa diekstra kampus, khususnya organisasi-organisasi perkaderan yang ada pada waktu itu. Pemerintah memutus hubungan antara intra dengan ekstra kampus, padahal organisasi ekstra ini merupakan alternatif tempat berprosesnya aktivis kampus.

                Implikasi dari konsep NKK/BKK itu; Pertama, menghilangkan ruang politik yang bebas. Mahasiswa dimobilisir dan disibukaan oleh urusan akademik semata. Akibatnya mahasiswa kehilangan semangat protektifnya dan apatis terhadap fenomena sosial disekitarnya. Kedua, dengan dibatasinya gerakan intra dan ekstra, yang membuat lembaga-lembaga itu stagnan, mahasiswa telah memiliki instrumen alternatif sebagai basis perjuangan.

                Gerakan mahasiswa bukan hanya ditekan oleh negara dan militer sebagai instrumennya, yang berakibat perguruan tinggi kehilangan kemandiriannya. Namun, mahasiswa juga dituntut oleh arus moderanisasi yang mensyaratkan profesionalisme sumber daya manusia. Akibatnya mahasiswa dan institusinya tetap berada dalam jaringan kekuasaan negara.

                Upaya depolitisasi oleh pemerintah orde baru ternyata tidak berhasi mamatikan gerakan kemahasiswaan secara umum. Jika dalam fase sebelumnya, gerakan mahasiswa berlangsung tanpa perlawanan yang memadai, geliat diakhir 1980-an dan awal 1990-an mulai terasa. Periode ini ditandai dengan model-model gerakan yang populis, dengan mengangkat isu-isu dilintas struktur marginal.
Demonstrasi mahasiswa terjadi  selama periode 1987-1990 menunjukan bahwa tidak kurang 155 kali mahasiswa turun kejalan memperjuangkan hak masyarakat yang tertindas. Yogyakarta, Bandung dan Jakarta marak dengan aksi mahasiswa yang terutama mengangkat isu-isu penggusuran tanah dan kekerasan militer.
Dekade 1990-an ditandai dengan peningkatan gerakan oposisi di Indonesia. Salah satu ciri utama dari gerakangerakan opoisisi itu adalah munculnya kembali upaya sadar untuk menghindari elitisme.

Sebelum tahun 1989, gerakan mahasiswa berbasis di universitas-universitas negeri di ibu kota Jakarta dan Bandung. Namun sejak 1989, pusat-pusat gerakan mahasiswa telah menyebar keberbagai kota di daerah. Mitra utama mereka kebanyakan dari petani dan buruh industri. Kekerasan politik yang terus berlangsung di tahun 1990-an keatas telah melahirkan berbagai komite dan solidaritas aksi. Fenomena ini merupakan indikator munculnya semangat perlawanan mahasiswa terhadap negara.

Mahasiswa yang merupakan bagian kecil dari masyarakat kembali tampil sebagai katalisaor dan pemicu proses perubahan itu. Dengan suara lantangnya, mahasiswa mampu mensugesti rakyat yang telah lama terdiam. Menjamurnya aliansi-aliansi strategis ditingkat mahasiswa telah menambah kekuatan presure nya. Anomali-anomali demokrasi selama ini, Dwi Fungsi ABRI, Soeharto dan kroni-kroninya menjadi isu penting.

Klimaks tuntutan mahasiswa adalah turunnya turunnya Soeharto dan pembersihan orang-orang orde baru yang dianggap biang kerok bangkrutnya negara ini. Hampir seluruh rakyat mendukung, dan berdo’a agar kekuatan mahasiswa mampu melakukan perubahan. Dengan dukungan penuh dari rakyat, mahasiswa akhirnya berhasil meruntuhkan rezim yang 32 tahun berkuasa.

Perjuangan gemilang mahasiswa tidak lantas berhenti begitu saja. Runtuhnya rezim Soeharto, naiknya Habibie sebagai presiden pemerintah transisi dan terpilihnya duet KH. Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarno Putri sebagai presiden dan wakil presiden masih menyisakan segudang persoalan krusial. Penyelesaiain kasus dugaan korupsi presiden Soeharto dan krono-kroninya, Dwi fungsi ABRI, penyelesaian gerakan-gerakan separatis didaerah seperti Aceh, Indonesia bagian timur, Irian Jaya dan Ambon. Kemudian kasus-kasus korupsi diberbagai bank seperti Bank Bali dan BRI adalah sederet kasus yang harus dituntaskan pada waktu itu.

Melihat berbagai fenomena gerakan mahasiswa diatas, dengan mata yang jelas dapat dikatakan ketika gerakan mahasiswa dipasung ia akan semakin bergerak sebagai pahlawan dalam melawan ketidak adilan. Mahasiswa senantiasa menjadi pelopor sebagai agen of change bagi sebuah bangsa, masyarakat dan Negara. (jambiekspres)
Komentar
 

Category 2

.