Jumat, 11 Januari 2013

Tulisan

Cinta Tak Bersyarat

Jumat, 11 Januari 2013 | 16.19
Nailil Bariyah Nuril Anwar


Cerpen - Di kursi itu, di ruang tamu homestay yang kami singgahi tujuh tahun silam, kami pernah duduk bersama. Mas Faris yang sebulan lebih dulu ku kenal, memperkenalkan Bang Rama padaku. Di situlah kami mulai bercengkrama dan saling menceritakan tentang diri masing-masing. Harus diakui Bang Rama memang lebih menarik dibanding Mas Faris. Dari fisiknya yang tinggi tegap dan sifatnya yang ramah serta tampak konsisten, sempat membuat mataku melirik padanya. Namun, aku tak dapat berlama-lama karena pesona Mas Faris sudah terlebih dulu menyihirku. Ah, yang benar saja! Mereka itu bersahabat. Aku tak sepantasnya jika menaruh rasa pada keduanya sekaligus. Lagipula aku hanyalah anak seorang pembantu yang usianya jauh sekali di bawah mereka. Tentulah hanya sebagai adik saja mereka menganggapku.
__***__
Aku mengambil album foto di rak bawah lemari buku. Sampulnya sudah berdebu karena sudah lama tak tersentuh tanganku. Aku membuka lembaran-lembaran album itu dan mengamati gambar-gambar berusia enam tahunan itu, membuatku seakan kembali ke masa lalu. “Lihatlah, Nin! Bang Rama bahkan terlihat malu berfoto sejajar denganku.” Aku menunjukan beberapa gambar yang diambil saat Mas Faris dan Bang Rama mentraktirku makan siang ketika aku berulang tahun ke-19 di sebuah kedai langganan mereka. Selain kami bertiga ada juga dua teman kantor Bang Rama yang ikut bergabung. Di situlah momen itu diabadikan. Hanya Mas Faris yang tak segan berpose di dekatku. Ada pose dia mencubit kedua pipiku dari belakang, ada pula pose dia menarik kunciran rambutku, namun tidak ada satupun foto Bang Rama yang semacam itu. Di banyak gambar yang ada, Bang Rama cenderung jaga jarak denganku. Ia tampak jaim di hadapan kedua teman kantornya yang saat itu memang sempat bertanya mengenai siapa aku, kenal di mana dan apa hubunganya.
“Ah, itu kan Cuma foto, Sar.”
“Iya, tapi dari foto itu aku tahu Bang Rama sebenarnya gengsi dekat denganku. Aku hanya orang gak punya yang besar mimpi. Aku bukan level dia!”
Nina merebut album foto dari tanganku, dan menutupnya. Aku menunggu dia mengatakan sesuatu yang bisa menenangkanku dari kebimbangan ini. “Sari, itu tidak penting lagi. Yang terpenting sekarang ini adalah Bang Rama mengajakmu menikah. Kamu tinggal bilang ‘iya’ atau ‘tidak’ padanya.”
“Tidak semudah itu memutuskannya, Nin. Aku rasa Bang Rama mau menikah denganku karena ia butuh sosok ibu untuk Kania.”
“Loh, lalu apa masalahnya? Bukankah kamu sayang sama Kania?”
“Iya, aku sayang sekali pada gadis kecil itu. Dia sedang lucu-lucunya. Di usianya yang baru tiga tahun ini dia sering kali menangis mencari-cari ibunya. Ia masih terlalu polos untuk diberitahu kalau ibunya sudah tiada. Namun, apakah itu artinya aku harus menerima pinangan Bang Rama, Nin?”
“Kenapa tidak? Inilah saatnya kamu buktikan rasa sayangmu itu pada Kania.”
“Nin, seandainya kondisi aku masih sama seperti dulu. Aku hanya anak seorang pembantu yang tidak memiliki gelar sarjana dan tidak memiliki karir, apa mungkin Bang Rama akan mengajakku menikah seperti sekarang ini?”
“Sar, jadi maksudmu Bang Rama tidak setulusnya mencintai kamu, begitu?”
“Aku rasa seperti itulah adanya. Sikap Bang Rama sebelum ini berbeda dengan Mas Faris. Kamu tahu kan Mas Faris begitu perhatian padaku? Walaupun tidak selalu, tapi aku tahu Mas Faris berusaha untuk ada saat aku membutuhkan. Aku bisa jadi seperti ini juga karena dukunganya yang seakan tak pernah berhenti, sekecil apapun yang ia beri sangat berarti untukku.”
“Ah, tentulah itu terjadi! Mas Faris kan pacar kamu.”
“Aku sungguh bingung, Nina. Aku tidak ingin menyakiti hati Mas Faris…”
“Sari, apa kamu lupa? Mas Faris itu sudah berkeluarga! Dia tidak akan mungkin menikahimu! Apa sih yang kamu pertimbangkan darinya???”
Aku menatap wajah Nina dengan pandangan yang aku sendiri tak mengerti, aku tak mengerti harus bicara apa lagi padanya. Selain sepupu dia adalah sahabat karib untukku. Dia tahu semua ceritaku dengan Mas Faris. Nina adalah satu-satunya orang yang tahu tentang hubungan gelap ini. Hubungan yang sudah bertahun-tahun terjalin tanpa sepengetahuan Bang Rama. Aku sungguh tak dapat berkata apa-apa lagi pada Nina, fikiranku benar-benar galau.
__***__
Sosok itu, yang kutunggu-tunggu belum juga menampakkan raga gagahnya. Bertahun-tahun dia begitu sabar menghadapiku yang tidak jarang bersikap amat kekanak-kanakan. Dengan waktu yang telah banyak ia habiskan untuk isteri, anak-anak serta pekerjaanya, ia tak lupa sediakan walaupun sedikit untukku, untuk melepas rindu. Saat ia ada di hadapanku, ia selalu berusaha tidak memikirkan hal lain selain menyediakan bahu dan dadanya untuk sandaranku. Ia menghiburku dengan lelucon-lelucon yang sering tak kuduga dan seakan tak ada habisnya. Mas Faris, selama hampir tujuh tahun mengisi hatiku, melukis warna-warni hidupku dan namanya hadir dalam setiap desah nafasku, setiap detik ingatanku. Dan kini aku harus belajar melupakanya. Karena aku telah resmi menjadi isteri Bang Rama. Aku telah menjadi Ibu bagi Kania. Namun aku ragu, apakah aku bisa???
Setelah yakin dia takkan datang, memang tak ada pilihan lain selain melupakan janji pertemuan ini…
__***__
Saat kami hanya berdua, Mas Faris meraih tanganku, menggenggamnya lama sekali. Aku merasakan tanganya begitu dingin dan gemetar. “Adik, dari awal kau memang hanya seorang adik untukku. Jikapun saat ini aku harus kembali menerimamu seperti itu, barangkali takkan lah sulit. Semua yang terjadi di antara kita biarlah kita saja yang merasakan. Ini adalah sebuah sejarah. Sejarah ada mungkin untuk dikenang namun tidak harus abadi. Karena tidak ada keabadian di dunia ini. Hanya Tuhan, Adik. Hanya Tuhan yang Abadi!”
Aku sangat menyayangimu…”
“Sayangilah aku sebagai Kakak. Aku tidak berhak lebih dari itu…”
Aku membiarkan belasan tetes air mata menghujani wajah sembabku… Senyum Mas Faris sangat kuyu. Aku sungguh tak mengerti mengapa ini bisa terjadi? Setelah pernikahanku dengan Bang Rama, kesehatan Mas Faris menurun drastis. Badanya yang cukup berisi, sekarang telah kurus. Kedua pipinya yang dulu sering kucubit itu pun kini tirus. Pantas saja hari itu ia tak datang menghampiriku. Sudah lebih dari empat bulan Mas Faris terbaring di kamarnya. Ia tak di-opname karena dokter tak mendeteksi adanya penyakit di dalam tubuhnya. Tapi nyatanya kondisi Mas Faris tampak tak lagi memiliki semangat hidup. Aku sempat mengamati Isterinya yang tampak pasrah. Aku merasa berdosa padanya. Aku telah merampas kebahagiaanya.
“Kak, aku tak sanggup melihatmu begini. Aku akan pergi demi kesembuhanmu, Kak.”
Mas Faris masih berusaha mengulas senyumnya yang sangat dipaksakan. “Pergilah, Dik. Tapi jangan karena aku. Pergilah karena suamimu. Ia telah menunggumu. Rama telah menunggumu…” suaranya semakin parau.. tiba-tiba Mas Faris memejamkan kedua kelopak matanya. Aku dapat melihat air matanya mengalir hingga membasahi bantal putih yang ditindih kepalanya.
Aku segera melangkah keluar, isakanya mulai terdengar. Seumur hidupku, demi Tuhan! Baru kali ini aku mendengar laki-laki menangis hingga begitu menyedihkanya. Suara tangisanya seakan mengiris-iris ulu hatiku yang sudah lama terluka. Perih tak terkata. Aku menguatkan diri untuk tak berbalik. Bukan karena aku tak lagi mencintai Mas Faris. Bukan pula karena rasa sayangku telah habis. Akan tetapi semakin lama aku didekatnya, maka semakin lama pula Mas Faris tersiksa.
Cintaku takkan pudar padamu, Kak. Kau selalu ada di hati ini. Walau tak di dunia kita bersatu, tenang dan percayalah, ada tempat yang jauh lebih indah di sana… Berdo’alah walau sulit, semoga Tuhan tak murka pada laku kita. Agar syurgawi-Nya boleh kita singgahi.
Selamat jalan, Kak. Kau adalah jiwa yang tak tergantikan.. betapapun agungnya cinta kita, tetap saja kisah terlarang takkan pernah mampu dibenarkan.. biarlah cinta kita hidup dalam sebuah angan-angan di relung gelapnya jiwa yang merana. Dan aku masih mencintaimu…
Dan saat kaki ini melangkah bersama Bang Rama, suamiku, saat itu juga kuserahkan pada Tuhan untuk menentukan akhir dari ceritaku dengan Mas Faris.

www.kompasiana.com/www.nailil.com
Komentar
 

Category 2

.