Aku menarik nafas panjang dan menghembuskanya begitu saja. Ibu yang
sedang sibuk dengan mesin jahitnya, mengernyitkan kening saat menoleh
padaku.
“Si Suci, Bu…”
“Kenapa lagi dia?”
Kuletakkan Handphone yang sudah low bat karena terlalu lama aku gunakan untuk mengobrol dengan Ruhayah, teman semasa SMA. “Dia diperas sama pacarnya sendiri,”
“Pacar yang mana? Dia kan punya banyak teman laki-laki!”
“Aku juga tidak begitu kenal, Bu. Kata Ruhayah namanya Zenal, sepertinya sih Zenal kakak kelas kami dulu.”
“Masalah apa lagi?”
Aku
melihat mimik Ibu tampak sinis, Ibu memang tidak menyukai Suci, sudah
lama sekali. Setidaknya setelah Suci menyakitiku, membuatku menangis
selama hitungan minggu. Dan Ibu manapun akan melakukan hal serupa jika
ada yang melukai anaknya. “Dia pernah melakukan hubungan badan dengan
Zenal, pacarnya itu. Di hotel melati dekat kampusnya…”
“Ibu tidak kaget..!”
Aku tersenyum tipis melihat reaksi Ibu yang semakin antipati pada Suci, “…adegan tak senonoh itu direkam oleh Zenal. Dan pacarnya itu memanfaatkan video tersebut untuk memeras Suci.”
“Berapa?”
“Sepuluh juta.”
Ibu benar-benar tidak tampak
kaget. Walaupun Ia selalu mendengar ceritaku tentang Suci, tapi
sesungguhnya Ibu sama sekali tak peduli dengan nasib Suci, mantan
karibku itu.
“Pasti ditebus kan??!”
“Iya. Ibu kan tahu sendiri orangtua Suci akan melakukan apapun demi anak emasnya itu.”
“Ah,
kalau kamu yang begitu, Ibu akan biarkan video mesum itu beredar di
luar sana. Termasuk di lingkungan kampusmu. Biar saja orang-orang
mengucilkanmu! Biar kamu juga tahu dan dapat pelajaran seperti apa akibat dari pergaulan bebas yang kamu lakukan itu!”
Aku
kembali melihat wajah Ibu yang mulai memajang emosi. “Tenang saja, Bu.
Itu tidak akan terjadi, karena aku tahu Ibu tidak punya uang sepuluh
juta untuk menyelamatkan nama baikku, kan!” aku nyengenges.
“Aku takut kamu justru melakukan dengan cara yang sedikit berbeda, Lani…”
Aku memandangi Ibu…, dan tersenyum kecut padanya. Semoga saja dia tidak sedang menyindir! Harapku dalam hati.
—***—
“Hah!
HAMIL???” Cerita dari seberang telepon mengagetkanku. Jantungku terasa
hendak lepas mendengarnya. Belum lama kami bergosip ria, Ruhayah
berpamitan untuk menyudahi obrolan karena harus berangkat kerja.
“Ruhayah lagi?” Hampir saja aku menjatuhkan handphone
kesayanganku ketika sekonyong-konyong Ibu muncul di hadapanku. Setelah
aku berhasil menguasai diri dari keterkejutanku, aku mengangguk.
“Pasti Suci lagi!”
“Iya, sudah empat bulan usia kandunganya.”
“Sama Zenal?”
“Bukan. Tapi sama Rohim. Tukmis yang seleranya selangit.”
“Apa si Suci masuk dalam kategori itu? Rasanya tidak!”
“Kelas
‘langit’ maksudnya?” Aku mengangkat kedua pundakku, ”Dia memutuskan
menikah minggu depan…” aku agak lemas mengatakanya, dan walaupun Ibu
terlampau acuh, tapi aku tahu Ia pasti senang mendengarnya,
“Baguslah!” Ketus Ibu,
“ Kawin kontrak. Cuma setahun.”
“Sudah kuduga!” setelah itu Ibu tak berkomentar lagi. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menuju dapur, melanjutkan masakanya.
—***—
Terakhir
Ruhayah bercerita bahwa asmara Suci dan Ghazali yang lama layu telah
bersemi kembali. Setelah itu cukup lama aku kehilangan kontak dengan
Ruhayah. Nomor teleponya selalu tidak aktif setiap kucoba hubungi. Aku
merindukanya. Merindukan suaranya. Ah, kalau boleh kuralat, aku bukanya
merindukan suara fals temanku itu. Tapi aku rindu cerita-cerita yang
meluncur dari bibirnya. Mulut ceriwisnya memang modal besar yang dia
punya agar tidak mudah dilupakan orang.
Ruhayah
seakan memiliki bakat sebagai narator ulung. Sebuah cerita biasa akan
sangat berbeda bila Ia yang meraciknya. Dari situ aku menyimpan sebuah
usul untuknya; Rasanya Ruhayah akan lebih tepat jika menjadi seorang
narator di acara Infotainment saja, sebuah media untuk menggosipi orang
lain. Itu wadah yang pas untuk menampung bakatnya. Setidaknya Ia sudah
memiliki satu obyek yang tidak kalah kontroversial dengan artis-artis
penebar sensasi yang sering berseliweran di layar televisi namun minim
prestasi. Dialah Suci. Yang konon disebut primadona desa kelas teri dan
justru bangga setiap menjadi buah bibir warga. Bagiku penilaian itu
terlalu berlebihan, karena mungkin Suci juga kurang menyukai masalah
demi masalah yang menghujani kehidupanya. Bisa jadi dia hanya sedikit
ceroboh saja. Itu di luar kuasanya, bukan?
Akhirnya aku berhasil menghubungi Ruhayah. Kalau saja handphone
dia tidak hilang dan dia hafal nomerku, pasti dia akan mengontakku
lebih dulu dan aku pun tidak akan ketinggalan berita begini. Bahkan
untuk yang satu ini cukup membuat dadaku terasa amat sesak. Lalu seperti
biasa aku berusaha menutupinya di hadapan Ibu…
—***—
“Lani! “ Ibu mengulurkan tanganya yang menggenggam handphone-ku.
Aku
memandangi mata Ibu lekat-lekat, mencoba menelisik apakah Ibu baru saja
berbicara dengan Ruhayah? Apakah Ibu sudah tahu tentang Muniroh, sepupu
jauhku yang baru sehari menikah dan akan menjadi janda? Aku berharap
Ibu tak mengangkat telepon dari Ruhayah. Aku sungguh-sungguh berharap
begitu.
Tiba-tiba
wajah Ibu berubah merah padam. Terdengar jelas suara giginya yang
gemeretakkan menyatakan geram. Jujur, aku takut melihatnya. Baru kali
ini Ibu seperti itu. Biasanya ketika dia merasa kesal terhadap sesuatu
ia hanya berkata ketus atau sedikit menyindir walau kalimat yang
digunakan cukup menikam perasaan orang yang menjadi sasaran
kejengkelanya itu, termasuk aku. “Karena pelacur itu Muniroh ditinggal
Ghazali! Kau pasti sudah tahu itu, kan!”
Belum lagi aku meraih handphone-ku, Ibu sudah melemparnya terlebih dulu. Handphone
kesayanganku, alat komunikasiku dengan Ruhayah, satu-satunya sarana
yang ku punya untuk mengetahui kabar Suci dari kampung sana, terhempas
ke lantai tak utuh lagi. Ah, keterlaluan sekali Ibuku…! Aku memilih diam
daripada membuat Ibu semakin murka.
“Dengar
baik-baik, Lani! Kali ini tiada toleransi sedikitpun! Kamu harus jadi
waras. Dia tidak pantas kamu cintai! Bahkan untuk sekedar kenal harusnya
aku tak pernah mengizinkamu! Kamu itu cantik dan berasal dari keluarga
baik-baik. Kamu tinggal beritahu laki-laki seperti apa yang kamu mau.
Aku akan mencarikanya untukmu! Pelacur macam Suci, hanya bisa
bersembunyi di balik namanya. Tapi bagai bangkai, semua orang tahu akan
kebusukanya! Apa yang kamu harap darinya! Apa kau akan menulis kisah
tentangnya, alur demi alur jalan cerita hidupnya yang memuakkan itu???”
Cuih!!! Ibu meludah seakan rasa jijiknya mencapai pada taraf yang lebih
menjijkan dari benda najis manapun.
Tepat
benar Ibu menghujamkan belati kebencianya di ulu ketidakberdayaanku.
Aku tak bisa lagi berpura-pura padanya! Ku akui, aku memang belum rela
membiarkan Suci yang telah memilih menapaki jalanya
sendiri, tanpa diriku, mantan karib yang amat merindunya. Beserta ‘rasa’
yang lain… Andai aku dapat merubah tulisan takdir, sudah barang pasti
aku akan menghapus catatan hidupku di bagian itu. Bagian di mana aku
dilahirkan dengan jiwa yang sakit… Mencintai pelacur kelas teri bernama
Suci!
Sumber: http://www.kompasiana.com/www.nailil.com