Sabtu, 19 Januari 2013

Tulisan

Cerita Suci

Sabtu, 19 Januari 2013 | 08.48

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskanya begitu saja. Ibu yang sedang sibuk dengan mesin jahitnya, mengernyitkan kening saat menoleh padaku.
“Si Suci, Bu…”
“Kenapa lagi dia?”
Kuletakkan Handphone yang sudah low bat karena terlalu lama aku gunakan untuk mengobrol dengan Ruhayah, teman semasa SMA. “Dia diperas sama pacarnya sendiri,”
“Pacar yang mana? Dia kan punya banyak teman laki-laki!”
“Aku juga tidak begitu kenal, Bu. Kata Ruhayah namanya Zenal, sepertinya sih Zenal kakak kelas kami dulu.”
“Masalah apa lagi?”
Aku melihat mimik Ibu tampak sinis, Ibu memang tidak menyukai Suci, sudah lama sekali. Setidaknya setelah Suci menyakitiku, membuatku menangis selama hitungan minggu. Dan Ibu manapun akan melakukan hal serupa jika ada yang melukai anaknya. “Dia pernah melakukan hubungan badan dengan Zenal, pacarnya itu. Di hotel melati dekat kampusnya…”
“Ibu tidak kaget..!”
Aku tersenyum tipis melihat reaksi Ibu yang semakin antipati pada Suci, “…adegan tak senonoh itu direkam oleh Zenal. Dan pacarnya itu memanfaatkan video tersebut untuk memeras Suci.”
“Berapa?”
“Sepuluh juta.”
Ibu benar-benar tidak tampak kaget. Walaupun Ia selalu mendengar ceritaku tentang Suci, tapi sesungguhnya Ibu sama sekali tak peduli dengan nasib Suci, mantan karibku itu.
“Pasti ditebus kan??!”
“Iya. Ibu kan tahu sendiri orangtua Suci akan melakukan apapun demi anak emasnya itu.”
“Ah, kalau kamu yang begitu, Ibu akan biarkan video mesum itu beredar di luar sana. Termasuk di lingkungan kampusmu. Biar saja orang-orang mengucilkanmu! Biar kamu juga tahu dan dapat pelajaran seperti apa akibat dari pergaulan bebas yang kamu lakukan itu!”
Aku kembali melihat wajah Ibu yang mulai memajang emosi. “Tenang saja, Bu. Itu tidak akan terjadi, karena aku tahu Ibu tidak punya uang sepuluh juta untuk menyelamatkan nama baikku, kan!” aku nyengenges.
“Aku takut kamu justru melakukan dengan cara yang sedikit berbeda, Lani…”
Aku memandangi Ibu…, dan tersenyum kecut padanya. Semoga saja dia tidak sedang menyindir! Harapku dalam hati.
—***—
“Hah! HAMIL???” Cerita dari seberang telepon mengagetkanku. Jantungku terasa hendak lepas mendengarnya. Belum lama kami bergosip ria, Ruhayah berpamitan untuk menyudahi obrolan karena harus berangkat kerja.
“Ruhayah lagi?” Hampir saja aku menjatuhkan handphone kesayanganku ketika sekonyong-konyong Ibu muncul di hadapanku. Setelah aku berhasil menguasai diri dari keterkejutanku, aku mengangguk.
“Pasti Suci lagi!”
“Iya, sudah empat bulan usia kandunganya.”
“Sama Zenal?”
“Bukan. Tapi sama Rohim. Tukmis yang seleranya selangit.”
“Apa si Suci masuk dalam kategori itu? Rasanya tidak!”
“Kelas ‘langit’ maksudnya?” Aku mengangkat kedua pundakku, ”Dia memutuskan menikah minggu depan…” aku agak lemas mengatakanya, dan walaupun Ibu terlampau acuh, tapi aku tahu Ia pasti senang mendengarnya,
“Baguslah!” Ketus Ibu,
“ Kawin kontrak. Cuma setahun.”
“Sudah kuduga!” setelah itu Ibu tak berkomentar lagi. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menuju dapur, melanjutkan masakanya.
—***—
Terakhir Ruhayah bercerita bahwa asmara Suci dan Ghazali yang lama layu telah bersemi kembali. Setelah itu cukup lama aku kehilangan kontak dengan Ruhayah. Nomor teleponya selalu tidak aktif setiap kucoba hubungi. Aku merindukanya. Merindukan suaranya. Ah, kalau boleh kuralat, aku bukanya merindukan suara fals temanku itu. Tapi aku rindu cerita-cerita yang meluncur dari bibirnya. Mulut ceriwisnya memang modal besar yang dia punya agar tidak mudah dilupakan orang.
Ruhayah seakan memiliki bakat sebagai narator ulung. Sebuah cerita biasa akan sangat berbeda bila Ia yang meraciknya. Dari situ aku menyimpan sebuah usul untuknya; Rasanya Ruhayah akan lebih tepat jika menjadi seorang narator di acara Infotainment saja, sebuah media untuk menggosipi orang lain. Itu wadah yang pas untuk menampung bakatnya. Setidaknya Ia sudah memiliki satu obyek yang tidak kalah kontroversial dengan artis-artis penebar sensasi yang sering berseliweran di layar televisi namun minim prestasi. Dialah Suci. Yang konon disebut primadona desa kelas teri dan justru bangga setiap menjadi buah bibir warga. Bagiku penilaian itu terlalu berlebihan, karena mungkin Suci juga kurang menyukai masalah demi masalah yang menghujani kehidupanya. Bisa jadi dia hanya sedikit ceroboh saja. Itu di luar kuasanya, bukan?
Akhirnya aku berhasil menghubungi Ruhayah. Kalau saja handphone dia tidak hilang dan dia hafal nomerku, pasti dia akan mengontakku lebih dulu dan aku pun tidak akan ketinggalan berita begini. Bahkan untuk yang satu ini cukup membuat dadaku terasa amat sesak. Lalu seperti biasa aku berusaha menutupinya di hadapan Ibu…
—***—
“Lani! “ Ibu mengulurkan tanganya yang menggenggam handphone-ku.
Aku memandangi mata Ibu lekat-lekat, mencoba menelisik apakah Ibu baru saja berbicara dengan Ruhayah? Apakah Ibu sudah tahu tentang Muniroh, sepupu jauhku yang baru sehari menikah dan akan menjadi janda? Aku berharap Ibu tak mengangkat telepon dari Ruhayah. Aku sungguh-sungguh berharap begitu.
Tiba-tiba wajah Ibu berubah merah padam. Terdengar jelas suara giginya yang gemeretakkan menyatakan geram. Jujur, aku takut melihatnya. Baru kali ini Ibu seperti itu. Biasanya ketika dia merasa kesal terhadap sesuatu ia hanya berkata ketus atau sedikit menyindir walau kalimat yang digunakan cukup menikam perasaan orang yang menjadi sasaran kejengkelanya itu, termasuk aku. “Karena pelacur itu Muniroh ditinggal Ghazali! Kau pasti sudah tahu itu, kan!”
Belum lagi aku meraih handphone-ku, Ibu sudah melemparnya terlebih dulu. Handphone kesayanganku, alat komunikasiku dengan Ruhayah, satu-satunya sarana yang ku punya untuk mengetahui kabar Suci dari kampung sana, terhempas ke lantai tak utuh lagi. Ah, keterlaluan sekali Ibuku…! Aku memilih diam daripada membuat Ibu semakin murka.
“Dengar baik-baik, Lani! Kali ini tiada toleransi sedikitpun! Kamu harus jadi waras. Dia tidak pantas kamu cintai! Bahkan untuk sekedar kenal harusnya aku tak pernah mengizinkamu! Kamu itu cantik dan berasal dari keluarga baik-baik. Kamu tinggal beritahu laki-laki seperti apa yang kamu mau. Aku akan mencarikanya untukmu! Pelacur macam Suci, hanya bisa bersembunyi di balik namanya. Tapi bagai bangkai, semua orang tahu akan kebusukanya! Apa yang kamu harap darinya! Apa kau akan menulis kisah tentangnya, alur demi alur jalan cerita hidupnya yang memuakkan itu???” Cuih!!! Ibu meludah seakan rasa jijiknya mencapai pada taraf yang lebih menjijkan dari benda najis manapun.
Tepat benar Ibu menghujamkan belati kebencianya di ulu ketidakberdayaanku. Aku tak bisa lagi berpura-pura padanya! Ku akui, aku memang belum rela membiarkan Suci yang telah memilih menapaki jalanya sendiri, tanpa diriku, mantan karib yang amat merindunya. Beserta ‘rasa’ yang lain… Andai aku dapat merubah tulisan takdir, sudah barang pasti aku akan menghapus catatan hidupku di bagian itu. Bagian di mana aku dilahirkan dengan jiwa yang sakit… Mencintai pelacur kelas teri bernama Suci!

Sumber: http://www.kompasiana.com/www.nailil.com
Komentar
 

Category 2

.