Sabtu, 02 Maret 2013

Tulisan

Masuk Islam, Murtad-kah Saya?

Sabtu, 02 Maret 2013 | 07.30

 Oleh:  Joshua Ramadhanna Martin Limyadi
Cikop News, JakartaMurtad adalah keadaan yang dialami seseorang ketika ia telah mengambil keputusan untuk mengganti agama yang sudah lama dipegangnya teguh menjadi pemeluk agama lain. Murtad pula adalah sebuah label yang keji ketika seseorang menanggalkan keimanan yang sudah lama dianut, lantas dalam proses tertentu kemudian orang tersebut menganut agama lain yang diyakininya lebih teguh dibanding agama sebelumnya. Bagi saya pribadi, pemurtadan adalah sebuah fenomena sosial yang cukup kompleks dialami seluruh muallaf yang baru saja masuk Islam. Karena mereka, terutama saya pribadi, dianggap murtad oleh orang-orang sekitar yang dulunya saya seiman dengan mereka.

Tahukah Anda apa yang terjadi dalam hidup saya setelah memeluk Islam sejak penghujung bulan Ramadhan tahun lalu? Banyak tantangan dan gejolak yang kemudian menimpa hidup saya sedemikian rupa, namun syukur alhamdulillah, iman saya dalam masih tetap teguh seperti sekarang, meski label ‘murtad’ yang distigmakan rekan-rekan dan keluarga yang beragama Nasrani kini makin melekat dalam diri saya setelah mencuatnya konflik keluarga pada Kamis (28/02), ketika Oma saya dicaci oleh keponakannya sendiri.
Saya sendiri tidak mengerti, apa yang kemudian memicu debat kusir diantara mereka berdua, antara keponakan dan tante, sehingga saya yang tak tahu biduk permasalahannya menjadi terbawa arus. Tak saya sangka, sungguh, ia melontarkan kalimat-kalimat kejinya terkhusus kepada saya, padahal saya sama sekali tidak pernah membuat kesalahan apapun terhadapnya.

Dalam peristiwa itu, saya kemudian mencermati apa yang diucapkan oleh salah satu tante saya itu. Ia dengan mudah mengatakan bahwa saya murtad karena Oma yang gagal membimbing saya dalam keimanan Nasrani. Kemudian, lanjut sang tante, saya dianggap ingkar kepada sosok Yesus (Nabi Isa AS), dan meminta saya untuk bertobat kepada Yesus. Hal tersebut disampaikannya tak hanya melalui panggilan telepon saja, namun lebih miris lagi juga melalui pesan singkat.

Saya tidak mau memberikan pernyataan apapun tentang apa yang disampaikannya, karena bagi saya adalah sia-sia jika saya menjelaskan sepanjang dan selebar apapun kepadanya tentang keimanan saya. Saking diamnya saya, kemudian cacian yang lebih pedas, hingga sumpah serapah, tumpah ruah dari mulutnya. Dalam kata-katanya, ia meminta saya dan Oma kembali kepada ‘jalan yang benar’.
Nah, ‘jalan yang benar’ ini menjadi berbeda ketika bertentangan dengan aqidah yang kini saya pegang teguh, dan disampaikan tanpa esensi dan konteks yang jelas tentang apa sesungguhnya ‘jalan yang benar’ dimaksud.

Baiklah, saya akan terangkan secara jelas di sini. Saya nyatakan, bahwa dengan masuk Islam, saya menyempurnakan keimanan saya kepada Allah subhana wa’ ta’ala. Saya telah meyakini keesaan-Nya secara penuh, dan saya menyatakan menolak stigma dan anggapan apapun bahwa saya murtad dari agama saya terdahulu yakni Nasrani.

Mengapa saya katakan demikian? Pertama, karena sebelumnya saya telah mendalami Alkitab, terutama Injil, dan dalam proses pendalaman Alkitab tersebut ditemukanlah beberapa ayat atau bagian yang menjelaskan kekuasaan dan eksistensi Tuhan semesta alam. Karena Yesus (Nabi Isa AS) telah mengajarkan sebelumnya dalam Alkitab yang berbunyi:
Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.” — [Markus 12:29]
Artinya secara langsung, Yesus telah menegakkan tauhid, atau pengenalan pribadi akan adanya satu-satunya Tuhan yang hidup dan menguasai semesta alam, kepada orang Israel pada zaman kenabiannya. Yesus menerangkan bahwa mengakui Allah sebagai Tuhan yang Esa adalah dua hukum terutama yang pertama. Ketika saya menemukan ayat ini, saya kemudian tersadar, bahwa yang Yesus ajarkan selama ini tentang keesaan Tuhan telah terlupa oleh saya selama 17 tahun memeluk agama Nasrani.

Dan, apa yang Yesus sampaikan di atas, ternyata tidak berseberangan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an yang berbunyi:
Katakanlah (wahai Muhammad), “Allah itu (adalah) esa.”  – [Surah Al-Ikhlash, QS 112:1]
Ternyata sifat Allah sebagai Tuhan semesta alam adalah esa. Ia adalah tunggal dan memiliki kedudukan tertinggi atas segala hierarki kekuasaan. Apa yang diilhamkan Allah kepada Yesus dan Muhammad adalah tidak berbeda dari segi esensi jika dipelajari lebih jauh. Setelah menerima ayat ini, saya kemudian mulai menolak konsep Trinitas yang pernah saya pegang teguh sejak kecil yang mengajarkan ada tiga penjelmaan dalam satu Tuhan. Padahal, masih ada bagian Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa:
“Dan tidak ada satu pun yang dapat menyerupai Dia (Allah).” – [Surah Al-Ikhlash, QS 112:4]
Setelah saya mempelajarinya secara jauh dari segi firman yang nota bene Allah turunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, kemudian kesimpulan itu timbul sendiri atas penegasan keesaan Tuhan bahwa Tuhan itu ternyata satu dan Tuhan itu esa, salahkah saya? Apakah salah bagi saya memeluk Islam?

Kemudian, yang kedua, tentang keimanan saya kepada kitab-kitab Allah. Selama ini persepsi saya hanya terpaku untuk mempercayai Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab yang memberi petunjuk bagi umat-umat yang bertakwa. Ternyata setelah saya mempelajari Al-Quran pada Surah Al-Baqarah, apa yang saya temukan kemudian adalah tarbiyah yang menegaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang bergolongan mukmin adalah mereka yang beriman kepada dua kitab, yang diturunkan sebelum, dan yang diturunkan sesudah seperti ada tertulis,
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”  — [Surah Al Baqarah, QS 2:4]
Apa yang sebenarnya Al-Qur’an kehendaki untuk kita pegang sebagai pedoman? Adalah bahwa Al-Qur’an tidak mengandung unsur keraguan apapun [bdk. Surah Al-Baqarah, QS 2:2]. Tidak cukup sampai disitu saja, Allah juga meminta kita untuk meyakini keberadaan kitab-kitab sebelum Al-Quran, yakni Taurat (yang dibawa oleh Nabi Musa AS, dalam Kristen dikenal sebagai “Sepuluh Perintah Allah, bdk Keluaran 20:3-16), Zabur (yang dibawa oleh Nabi Daud AS, dalam Kristen dikenal sebagai Mazmur), dan Injil (yang dibawa oleh Nabi Isa AS, dalam Kristen dikenal sebagai Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas dan Injil Yohanes). Ketiga kitab inilah yang secara autentik juga Allah kukuhkan sebagai “kitab sebelum furqan“, yang juga menjelaskan lebih dulu korelasi Kristen dan Islam, serta keesaan dan kebesaran Allah secara absolut.

Ketiga, yang tak kalah penting, adalah meyakini bahwa agama merupakan hak asasi manusia. Tidak seorangpun boleh dipaksa menganut suatu agama tertentu karena motif yang jelas maupun tersembunyi. Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam juga menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Al-Qur’an telah menggariskan bahwa:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” – [Surah Al-Baqarah, QS 2:256]
Bagi saya, satu ayat pun sudah cukup untuk dipahami bahwa sejatinya agama tidak boleh dipaksakan. Agama merupakan kesadaran yang bersifat personal, yang pertanggungjawabannya hanya kepada Allah subhana wa’ ta’ala.

Terakhir, yang membuat saya makin yakin adalah dua ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan ‘jalan yang lurus itu apa’.

Ketika umat Islam menegakkan ibadahnya melalui salat, membaca Surah Al-Fathihah merupakan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya salat. Jika sampai pada ayat,
“Hanya kepada-Mu (Allah) kami menyembah, dan hanya kepada-Mu (Allah) kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah (kepada) kami jalan yang lurus.” – [Surah Al-Fathihah, QS 1:5-6]
Berarti umat Islam selalu memohon kepada Allah SWT akan jalan yang lurus. Saya pernah mendengar ada celoteh umat Kristen yang mengatakan, “Umat Islam selalu meminta jalan yang lurus, sementara Yesus adalah jalan, kebenaran dan hidup”. Ya, memang demikian, umat Islam selalu minta tuntunan dari Tuhan yang Maha Esa, karena manusia sering kali berada dalam jalan yang salah. Tak heran jika umat Islam mutlak memohon akan jalan yang lurus dari Allah bagi mereka. Berarti apa? Orang yang selalu memohon jalan yang lurus dan kemudian mengikutinya, adalah golongan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, bukan orang yang dimurkai, ataupun tersesat [bdk Surah Al Fathihah, QS 1:7]. Betapa salehnya ajaran Islam yang begitu sederhana. Sederhana, bukan?

Saya kembali mencari pengertian ‘jalan yang lurus’ hingga menemukan sebuah ayat,
“Dan hendaklah kamu menyembah-Ku (Allah). Inilah jalan yang lurus.” — [Surah Yaa Siin, QS 36:61]
Berarti jika jalan yang dimaksud tante saya bahwa ‘jalan yang lurus’ adalah menyembah Tuhan yang Esa, maka akan saya ikuti. Namun berhubung penyampaiannya disampaikan dengan emosi dan tanpa esensi serta konteks yang jelas, maka segera saya patahkan anggapan multitafsir ini dalam hati. Sudah jelas-jelas Allah menyatakan bahwa jalan yang lurus adalah manusia menyembah hanya kepada-Nya.

Setelah saya rangkum semua penjelasan ini, saya kembali bertanya kepada diri sendiri, murtad-kah saya dalam menjadi seorang Muslim? Apakah dengan Islam, saya menghilangkan konteks keimanan yang terlanjur tertanam, atau sudah tepatkah keyakinan saya? Wallahu’ alam bishawab. [LYD/limyadi.com]
Komentar
 

Category 2

.