Rabu, 05 Maret 2014

Opini

Jargon KLB Adirozal Hanya Sebatas Utopia?

Rabu, 05 Maret 2014 | 22.03

Oleh: Nani Efendi

   Setelah menempuh perjuangan yang panjang, 4 Maret 2014, Adirozal akhirnya resmi dilantik sebagai Bupati Kerinci untuk periode 2014-2019. Melalui jargon politiknya “Kerinci Lebih Baik” yang disingkat dengan “KLB”, Adirozal mampu meraih simpati dan dukungan publik secara signifikan, dengan total suara 47.934. Ia berhasil mengungguli para kandidat pesaingnya—Dasra, Murasman (incumbent), Sukman, Rahman, dan Irmanto—dan sekaligus mengakhiri rezim Haji Murasman yang telah berkuasa selama lima tahun. Jargon “KLB” yang terngiang-ngiang di telinga publik, seakan-akan merupakan “janji politik” yang harus “segera” dilunasi. Masyarakat tentu berharap, jargon itu tidaklah sebatas utopia atau impian indah yang tidak dapat terwujud dalam kehidupan nyata. Masyarakat menginginkan jargon “KLB” dapat menjadi semangat atau spirit dan sekaligus juga sebagai sumber inspirasi (inspiring jargon) bagi Adirozal dalam berjuang membangun dan menata Kerinci menjadi lebih baik dalam lima tahun ke depan.

Menunggu sang pemimpin

   Berbagai masalah-masalah besar, yang selama ini dikeluhkan masyarakat Kerinci, telah menunggu sang pemimpin baru itu. Jika Adirozal mampu melunasi “janji-janji politik”-nya, saya yakin ia akan tetap mendapat simpati dan political support (dukungan politik) dari masyarakat luas. Akan tetapi, jika ia tidak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik—apalagi sempat bermetamorfosa menjadi pemimpin bertangan besi dan anti demokrasi—maka sudah menjadi hukum alam, ia pun akan ditinggalkan bahkan disingkirkan oleh rakyatnya sendiri seperti halnya nasib para pemimpin-pemimpin zalim dan otoriter dalam sejarah peradaban dunia. Cepat atau lambat kediktatoran pasti runtuh. Pasti terguling. Entah berapa banyak contoh tentang itu. Marcos, Alfredo Stroessner, Pinochet, Galtieri, Idi Amin, Bokassa, Shah Iran, dan seabrek contoh yang lain lagi. Kalau sudah runtuh, jargon “KLB” pun akan tinggal kenangan tanpa realita. Tentu, masyarakat—terlebih lagi para simpatisannya—tidak menginginkan hal itu terjadi. Masyarakat tentu berharap, Adirozal tetap pada komitmen moral dan politiknya untuk memimpin Kerinci menjadi lebih baik.
   Ada beberapa persoalan yang telah menunggu untuk segera ditangani dengan serius oleh bupati terpilih. Pertama, persoalan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan bandar udara. Jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada dalam Provinsi Jambi, Kerinci merupakan kabupaten yang relatif jauh tertinggal dalam hal infrastruktur, khususnya jalan. Akibatnya, akses masyarakat menjadi terhambat. Perkembangan perekonomian pun menjadi sulit. Kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Kerinci masih jauh dari kesan sempurna, baik itu jalan yang ada dalam wilayah Kabupaten Kerinci sendiri maupun jalan yang menghubungkan Kerinci dengan wilayah-wilayah sekitarnya—jalan Kerinci-Bangko, Kerinci-Sumbar, dan Kerinci-Bengkulu. 
   Oleh karena itu, agar Kabupaten Kerinci tidak menjadi daerah tertinggal dan terisolir, Pemerintah Kabupaten ke depan harus segera berupaya dengan sungguh-sungguh untuk membangun infrastruktur jalan, termasuk mengupayakan pembangunan jalan yang menghubungkan Kerinci dengan daerah luar. Kalau jalan Kerinci-Bangko dianggap bukan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten, setidak-tidaknya harus ada upaya dari Pemerintahan Adirozal untuk mengusahakan pembangunan jalan tersebut. Apakah dengan cara mendesak Pemprov Jambi atau mengupayakannya menjadi jalan nasional agar dapat dibangun dengan dana dari APBN. Yang jelas, bagaimanapun, harus ada kebijakan dan upaya serius untuk memperbaiki kondisi infrastruktur jalan yang merupakan akses utama masyarakat Kerinci ke dunia luar itu. Dengan kata lain, harus ada breakthrough (terobosan) cerdas dari pemimpin pilihan masyarakat itu. Kunci persoalannya ada pada political will (kemauan politik).
  Kedua, persoalan kemiskinan dan pengangguran (poverty and unemployment). Dibandingkan dengan kabupaten lain, tingkat pendidikan masyarakat Kerinci tergolong tinggi. Akan tetapi, tingkat penganggurannya juga tinggi. Para sarjana yang menganggur, dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Belum lagi kita berbicara tamatan SLTA ke bawah. Nah, pengangguran tentu akan berakibat kepada kemiskinan—suatu kondisi yang menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa kita hari ini. Bahkan, kata Mahatma Gandhi, “Kemiskinan adalah bentuk paling buruk dari kekerasan.” Oleh karena itu, harus ada kebijakan yang tepat dari Adirozal untuk mengatasi persoalan ini. Berikan dan bangun akses yang seluas mungkin bagi masyarakat Kerinci untuk mengembangkan hidup dan kehidupan mereka—akses terhadap kesempatan kerja, kesempatan berusaha, kesehatan, politik, pendidikan, dan kehidupan sosial lainnya.
   Ketiga, pengelolaan anggaran. APBD Kabupaten Kerinci tergolong kecil dibanding daerah-daerah yang kaya dengan sumber PAD. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah anggaran yang ada harus dialokasikan dengan tepat sasaran, efektif, dan efisien. Anggaran harus dialokasikan kepada hal-hal yang benar-benar menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Bukan hanya memanjakan golongan tertentu saja. Dengan kata lain, walaupun kecil, jika alokasinya tepat sasaran, maka ia akan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat secara luas. Salah satu contoh, mobil dinas, misalnya. Jika dirasa masih belum mendesak untuk diganti, ya jangan diganti. Masih banyak hal lain yang dibutuhkan masyarakat. Lebih baik anggaran untuk mobil dinas dialokasikan untuk membangun sekolah atau untuk bantuan beasiswa pendidikan bagi masyarakat miskin. Itu salah satu contoh. Jadi, harus ada pengelolaan anggaran yang baik.
   Keempat, peningkatan pelayanan publik dan penataan manajemen birokrasi. Pelayanan publik (public service) yang baik, tercipta dari pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government). Nah, pemerintahan yang baik dapat terwujud jika manajemen birokrasinya ditata dengan baik. Oleh karena itu, salah satu tugas Adirozal ke depan adalah menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih (good corporate governance) yang bebas dari KKN. Di samping itu, penataan jabatan para birokrat haruslah mengacu kepada prinsip merit system(sistem kemampuan) dan prinsip the right man on the right place dengan tetap berpegang pada asas-asas profesionalitas dan proporsionalitas. Hanya dengan membangun pemerintahan yang bersihlah, pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dapat tercipta. Di samping itu, masih banyak persoalan-persoalan lain yang menyangkut hajat hidup masyarakat Kerinci secaraluas yang membutuhkan penanganan secara baik dari bupati terpilih. Oleh karena itu, harus ada good will (itikad baik) dan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintahan Adirozal ke depan untuk membenahi keadaan yang sangat complicated itu.

Instrumen politik belaka?

    Nah, jika selama kepemimpinannya, dalam lima tahun ke depan, Adirozal tidak mampu me-reform Kerinci ke arah yang lebih baik sebagaimana yang ia sampaikan selama kampanye politiknya kepada masyarakat luas, berarti jargon “KLB”-nya itu tidak lebih hanya berfungsi sebagai “instrumen politik” belaka. Yang hanya berguna sebatas kampanye. Seperti halnya jargon penjajah Jepang untuk meraih simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia dalam upaya Jepang melawan Barat di tahun 1940-an: “Asia untuk Asia” dengan mempropagandakan “semboyan 3A” (Nippon pemimpin Asia, Nippon cahaya Asia, dan Nippon pelindung Asia), namun kenyataannya setelah itu, Jepang berubah menjadi penjajah yang ganas dan tak berprikemanusiaan terhadap rakyat Indonesia itu sendiri. 
  Tentu, masyarakat Kerinci tak berharap hal seperti itu. Masyarakat Kerinci tetap menginginkan yang terbaik dari Adirozal sebagai pemimpin yang terlahir dari rahim demokrasi. Masyarakat tidak ingin cita-cita “KLB” hanya sebatas utopia. Dan memang, dalam pengamatan saya, sebagian besar masyarakat Kerinci saat ini masih tetap optimis dan menaruh harapan baik pada kepemimpinan Adirozal
    Sebagai pengemban amanah rakyat, Adirozal tentunya harus tetap menjaga public trust (kepercayaan publik) dan optimisme masyarakat Kerinci itu. Ia harus berjuang dengan penuh kesungguhan, penuh kejujuran dan keikhlasan bersama masyarakat dalam melakukan transformasi dan melaksanakan pembangunan daerah, serta terus berupaya membangun Kerinci ke arah yang lebih baik demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara luas, sebagaimana yang didambakan masyarakat Kerinci sejak lama. 
    Dan yang lebih penting lagi, ia harus bisa menjadi pemimpin bagi masyarakat Kerinci secara keseluruhan, bukan pemimpin bagi golongan, partai, atau daerahnya saja. Dan itumemang sudah menjadi kewajiban moral bagi siapa pun ketika telah diberi amanah sebagai pemimpin publik. Seperti kata Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-26, “No man can occupy the office of the president without realizing that he is president of all the people.” (Tidak ada yang bisa menjadi presiden tanpa menyadari bahwa ia adalah presiden bagi rakyat secara keseluruhan). Mampukah Adirozal merealisasikan jargon “KLB”-nya? Semoga.

NANI EFENDI
Pemerhati Sosial Politik, Tinggal di Jambi
Komentar
 

Category 2

.